Tokoh:
1. Simbah : Resti
2. Intan : Intan
3. Kak Fajri (sepupu intan) : Khabib
4. Kak Sunar(sepupu intan) : Wahyu
5. Bude : Sri
6. Mbak Atik : Eva
Andai Aku Mengerti
Siang ini begitu panas, mentari bersinar dengan teriknya seakan-akan memanggang daging manusia. Seorang anak berseragam sekolah berjalan dengan malasnya menuju sebuah rumah yang halamanya penuh dengan pohon kelapa. Begitu sampai teras rumah,
Intan : ” Huh, kotor banget sih lantainya,” (sambil bersungut-sungut dan meletakkan tasnya di lantai )
Tanpa pikir panjang ia mengambil sapu di pojok teras, setelah bersih ia duduk-duduk di teras sambil melihat langit biru entah apa yang sedang di pikirkan. Tiba-tiba datanglah seorang Simbah,
Simbah : ” Dasar bocah males, kerjaannya ngelamun, sasih pakai seragam pula, huh,, sana ganti baju terus nyapu!”
Intan : ” Apa Mbah,?” (tanpa menoleh ke arah Simbahnya)
Simbah : ”Sana ganti baju, makan, terus nyapu nyapu.”
Intan : ” Mbah tu, aku baru pulang sekolah, masih capek Mbah,”
Simbah : ”Huh... Bocah pemalas.”(sambil bersungut-sungut)
Intan : ” Mbah, aku tadi sudah menyapu teras.”
Simbah : ”Heh..? Nyapu,, apa buktinya, nih...lantai masih kotor!!” (sambil menyolek lantai dan menunjukkannya pada Intan)
Intan : ”Mbah, aku capek. Mau istirahat. Pokoknya aku tadi sudah nyapu kok!!!” (membuang muka tak peduli)
Simbah : ”Wuuu.... Pancen bocah keset!!”
Intan : ”Enak aja Mbah ngatai aku keset,, aku tu capek mbah! Kalau lantai masih kotor Mbah sapu aja sendiri.” ( pergi meninggalkan Simbah)
Mendengar ribut – ribut datanglah seorang wanita setengah baya,
Bude : “ Ada apa sih, kok ribut terus?”
Simbah : “ Tuh, bocah sumatra di sini pemalas. Disuruh menyapu malah pergi.”
Bude : “Mbok, mungkin dia masih capai, dia kan baru pulang sekolah.”
Simbah : ”Yo wis, kono belani.”
Bude : ” Mbok...Mbok...” ( sambil geleng – geleng kepala)
Sore hari, di rumah itu terdengar lagi teriakan nada marah dari seorang nenek
Simbah : ” Intaaaann.... Intaaaan !!”
Mendengar namanya dipanggil, datanglah intan dengan tergopoh – gopoh.
Intan : ” Apa Mbah..?”
Simbah : ” Kamu itu gimana tho, wis peteng kok lampu belum dihidupkan, jendela belum ditutup,!”
Intan : ” Nggih Mbah... ” ( menghidupkan lampu dan menutup cendela sambil menggerutu)
Karena lampu dan jendela sudah di tutup, Simbah pun keluar rumah.
Tak lama kemudian datanglah seorang laki – laki
Sunar : ” Masih terang kok lampu sudah di hidupkan. Gak hemat energi.”(mematikan saklar lampu)
Simbah masuk rumah dan lagi – lagi ia berteriak
Simbah : ” Intaaaaaan!!!!!!!!!!”
Intan : ” Oiiii...... apa lagi sih Mbah?”
Simbah : ” Kamu tu paham ga sih, suruh menghidupkan lampu kok masih gelap?”
Intan : ” Kan tadi sudah aku hidupkan Mbah.”
Simbah : ” Nyatane, masih gelap”
Sunar : ”Tadi aku yang matikan Mbah” (tiba-tiba muncul dari pintu)
Simbah : ” Oo.. kamu to Lhe, yang matikan.” ( nada marah menurun)
Intan : ” Nah kan Mbah, Mbah tu ga adil, kalau Mas Sunar salah ga dimarahi. Kalau aku ga salah di uring-uring. Mbah jahaaat..”
Simbah : ” Apa!!!! Beraninya kamu bilang Mbah jahat. Bocah ga tau diri.”
Intan : ” Mbah pilih kasih...!”
Simbah : ” Sekali lagi, bilang apa kamu heh Bocah kurang ajar!!”
.............................................................................................................................................
Karena dimarahi Simbah, Intan langsung pergi. Dia mengambil HP nya dan menelpon kakak sepupunya yang ada di Sleman. Begitu telephone tersambung,
Intan : ” Mas Nur, aku sedih....”
Mas Nur : ” Kenapa Ntan?”
Intan : ” Mbah tu jahat, masa yang salah Mas Sunar, yang dimarahi aku.”
Mas Nur : ” Sabar ya... Mbah kan sudah tua, sudak kayak anak kecil.”
Intan : ” Iya.. tapi Mbah tiap hari pasti marahin aku. Aku bosen banget. Kapan sih Mbah mati,?”
Mas Nur : ” Hus... jangan begitu Tan, ga baek. Ntar menyesal loh.., Mbah itu sayang ma kamu.”
Intan :” Ga mungkin,,, tiap hari Mbah itu marah – marah terus”
Mas Nur : ” Sabar aja ya...”
Intan : “ Ya... sabar wae lah...”
............................................................................................................................................
Siang hari Simbah jalan jalan ke rumah tetangga – tetangga, sampai di rumah Mbak Atik
Simbah : ” Kamu tau tidak Tun, tuh Intan ki kurang ajar sekali.”
Mbak Atik : ” Loh,, memangnya kenapa Mbah?”
Simbah : ” Kemarin itu, dia ngatai aku jahat, ga adil, pilih kasih,”
Mbak Atik :” Oo.. masak sih Mbah?”
Simbah : ” Mboh, bocah opo kae, keset, ndableg..”
Mbak Atik : ” Ya mungkin, dia sedang capai Mbah.., Mbah, saya mau ke pasar dulu ya,” ( pergi meninggalkan simbah)
Simbah : ”Yo, hati – hati...”
Simbah pun jalan jalan sendirian. Karena bosan, ia kembali lagi ke rumah. Tiba – tiba Simbah melihat Bude pulang dari pasar
Simbah : ” Dari mana kamu?”
Bude : ”Dari pasar Mbok,?”
Simbah : ” Kamu beli roti nggak?”
Bude : ” Beli Mbok. Nih... monggo.”
Melihat roti kesukaannya Simbah merasa senang,
Simbah : ” Wis, roti ini mau aku simpan. Ntar ndak Intan kepengen.”
Tiba – tiba Intan datang sambil membawa roti juga
Mbah : ” Suda pulang Tan?”
Intan : ” Ya. Aku mau disuruh apa lagi Mbah?” ( memasang muka cemberut)
Simbah : ” Ga suruh ngapa – ngapa kok”
Intan : ” Mbah ni, roti kesukaan Mbah.”
Simbah : ” Makasih ya Tan.” ( sambil tersenyum)
Intan : ” Heran, tumben Mbah ga marah – marah.” ( gumamnya dalam hati)
.............................................................................................................................................
Adzan magrib berkumandang, di rumah yang sangat sepi. Bude pergi Nyumbang, Mas Sunar ke rumah temannya, Intan siap siap ke masjid. Tiba – tiba Simbah memanggil
Simbah : ” Intaan,,”
Intan : Dalem Mbah, ada apa Mbah”
Simbah : ” Punggungku sakit Tan,” (merasa kesakitan , masih memegang mukena)
Intan : ” Astagfirullah.... Mbah, kenapa??” ( langsung menghampiri Simbah dan mengurut punggungnya.)
Simbah : ” Astagqfirulllah....” ( Simbah memejamkan mata)
Intan : ” Aku urut ya Mbah, sudah baikan belum?” ( tampak cemas)
Simbah tidak menjawab, ia hanya menganggukkan kepala. Intan meraba kakai Simbah. Terasa dingin, Intan semakin cemas. Dan ternyata nadi Simbah tidak lagi berdenyut. Intan masih bingung, Ia langsung keluar rumah dan berteriak teriak memanggil tetangga – tetangga.
Intan : ” Mbak Atik, Mbok Yam, Pak Saji.... tolong,, mbah itu gimana..!!!”
Mendengar teriakan histeris itu, orang orang semua datang
Mbak Atik : ” Ada Apa Tan?”
Intan : ” Mbah.... Mbah..........”
Semua menuju ke tubuh Simbah yang semakin dingin...
Pak Saji : ” Innalillahiwainnailaihirojiun....”
Intan : ” Apa,,, Simbah saya kenapa?”
Mbak Atik : ” Simbah meninggal Tan...”
Intan : ” Apa.... Mbah.....jangan mati... Mbah... ”
Mbak Atik : ” Sudah......sudah... Mbah sudah tenang...”
Intan segera mengabarkan berita duka itu pada orang tuanya di Palembang, kakak sepupunya yang di Sleman, Budenya, dan semua keluarga. Tak berapa lama rumah itu telah dipenuhi orang – orang yang ikut mengurusi jenazah dan takziah. Kakak sepupu Intan juga datang.
Mas Nur : ” Bude, Intan mana?”
Bude : ” Itu,” ( sambil menunjuk Intan yang sedang duduk diam)
Mas Nur : ” Simbah meninggal Tan, kenapa kamu nangis?”
Intan : ” Aku sedih Mas, Mbah sudah pergi... gak ada yang marah – marah lagi, ga ada yang mengomelin aku lagi...”
Mas Nur : ”Yah... begitulah, Simbah yang selalu mengomelin kamu. Marah – marah sama kamu, tapi ternyata dia sayang sama kamu. Buktinya cuman kamu yang menemani Simbah saat nafas terakhirnya terhempas.”
Intan : ” Maafkan aku Simbah...”
Mas Nur : ” Aku yakin, Simbah memaafkan kamu. Karena dia sayang kamu. Sekarang doain Simbah saja ya,, jangan nangis terus.”
Intan : ” Makasih...” ( sambil tersenyum sedih.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar